A.
Homoseksual
Homoseksual
dapat dijelaskan dalam beberapa dimensi. Termasuk diantaranya adalah: sikap
untuk mengekspresikan hubungan seksual atau kecenderungan erotis, kesadaran
akan konsep diri homoseksual, atau kenyataan hubungan seks dengan sesama
jenisnya baik laki-laki maupun perempuan. Orang yang menjalani perilaku
homoseksual ini (baik laki-laki maupun perempuan) berasal dari semua kelas sosial,
tingkat pendidikannya bervariasi, mewakili semua jenis pekerjaan dan profesi,
mempunyai bermacam kepentingan dan kegemaran, dan mungkin sudah menikah atau
masih single.
Kinsey,
Pomeroy, dan Martin (1984) dalam penelitian yang terkenal tentang seksualitas
di Amerika, mengungkapkan bahwa sebanyak 37% laki-laki pernah mempunyai
pengalaman homoseksual dalam suaru masa kehidupannya, tetapi hanya 4% yang
benar-benar homoseksual dan mengekspresikan kecenderungan erotisnya pada sesama
laki-laki. Adapun sisanya kemungkinan hanya karena rasa ingin tahu, dianiaya,
atau dibatasi seksualnya. Temuan ini menjelaskan bahwa mempunyai hubungan
homoseksual tidak berarti seseorang menjadi homoseks. Yang lebih penting secara
sosiologis adalah pengungkapan identitas homoseksual. Melalui identitas itu,
seseorang mengonsepkan dirinya sebagai homoseks. Istilah homoseksual lebih
merujuk pada hubungan seksual yang terjalin antara laki-laki dengan laki-laki,
sedangkan istilah lesbianisme secara spesifik ditujukan untuk perempuan yang
berhubungan seksual dengan sesame perempuan.
Pada
dasarnya pola peran dan tingkah laku seksual yang berkaitan dengan maskulinitas
dan feminitas merupakan sesuatu yang dipelajari, bukan sesuatu yang bersifat
biologis. Homoseksualitas dan heteroseksualitas dapat dipahami menggunakan tiga
konsep, yaitu pertama, pengambilalihan seks. Pengambilalihan peran seks ini
lebih pada adopsi aktif terhadap ciri-ciri perilaku seks seseorang terhadap
orang lain, bukan hanya keinginan untuk mengadopsi sejumlah perilaku. Pengambilalihan
peran seks ini biasanya disebut penolakan peran seks atau peran gender. Kedua,
kecenderungan peran seks, yaitu keinginan untuk mengadopsi perilaku yang
berhubungan dengan jenis kelamin yang sama atau berbeda. Ketiga, identifikasi
peran seks. Identifikasi tersebut menjadi hal yang penting dalam homoseksualitas.
Identifikasi peran seks merupakan persatuan yang nyata antara takdir peran seks
dan reaksi tak sadar bahwa takdir itu merupakan ciri-ciri dari peran seks.
Dengan kata lain, seseorang menhayati peran seks tertentu,mengembangkan konsep
dirinya dengan jenis kelamin lain, dan mengadopsi sebagian besar karakteristik
perilaku jenis kelamin lain tersebut.
Penting
sekali ditekankan bahwa perilaku homoseks, merujuk ke kegiatan seks dengan
orang lain yang berjenis kelamin sama. Dari sudut pandang homoseks, ada kecenderungan
perasaan subjektif bahwa orang yang berjenis kelamin sama lebih secara seksual
dibandingkan orang yang berjenis kelamin berbeda. Sejauh mana seseorang
mengkombinasikan pengakuan homoseks yang tinggi merupakan hasil daripada
partisipasinya pada subkebudayaan tersebut. Sebagian besar anak-anak secara
alami melakukan percobaan permainan homoseksual, terutama jika percobaannya
dengan anggota kelompok jenis kelamin berbeda sulit atau tidak memungkinkan.
Pengalaman ini bagaimanapun juga tidak selalu mengarah ke homoseks atau pola
perilaku homoseksualitas, karena sejumlah perilaku seks di antara anak
laki-laki itu mungkin hanya disertai dengan sedikit perasaan emosi. Pengalaman
homoseksual yang paling signifikan dapat didefinisikan jika seseorang melakukannya
dengan orang dewasa atau mengulangi perbuatannya dengan orang yang sama selama
setahun lebih.
Jadi,
seseorang ketika menjadi homoseks lebih karena identifikasi dan asimilasi peran
seks yang tak seharusnya didapat pada masa anak-anak. Perlu diketahui bukan
pengalaman pada masa kanak-kanak yang menentukan kemungkinan orientasi seks
seseorang. Proses belajar seks terus berlanjut selama masa remaja dan juga pada
masa dewasa. Proses belajar yang terpenting justru pada masa remaja. Selama
masa ini, anak mengalami perubahan dari kontak homososial (kontak primer dengan
orang lain berjenis kelamin sama) menjadi kontak heterososial (kontak dengan
jenis kelamin berbeda). Pada akhir remaja, anak tersebut benar-benar sadar
dengan konteks ini. Artinya anak tersebut sadar bahwa dirinya dapat bernafsu
secara seksual. Dia juga sadar dengan siapa melakukan hubungan seksual.
B. Perubahan
Reaksi Masyarakat terhadap Homoseksual
Seperti
yang kita ketahui, proses belajar, perilaku, dan orientasi seksual terus
berkembang sering dengan meluasnya perubahan social kontemporer, seperti
semakin gencarnya gerakkan persamaan hak perempuan dan kemungkinan meluasnya
perilaku heteroseksual. Banyak orang yang mempertanyakan alasan homoseksualitas
terus-menerus dicela. Pencelaan oleh public terhadap homoseksualitas telah
berkurang sejak beberapa decade terakhir, namun sejujurnya tingkat penolakan
yang sangat tiggi terhadap homoseksualitas dan bentuk perilaku seksual lain
tetap ada (Stephen dan Mc Mullin, 1982).
Beberapa
orang dan kelompok bersikap lebih toleran terhadap homoseksualitas dan beberapa
orang tua menerima anaknya yang homoseksual (Glassner dan Owen, 1976). Di dalam
keluarga, seorang ibu lebih toleran terhadap anakanya yang homoseksual
dibandingkan ayahnya. Adapun kelompok yang sangat menolak homoseksual dapat
dijumpai ada kelompok pekerja dan masyarakat bawah, penganut agama yang
fundamentalis, dan orang-orang yang tidak berpendidikan tinggi (Hammersmith,
1987). Kenyataannya, orang yang pernah berhubungan (nonseksual) dengan
homoseksual dan orang dengan latar belakang menerima perbedaan social,
diketahui mendapatkan stereotipe yang tidak tepat atau tidak benar sebagai
homoseksual.
Namun
beberapa kota di Amerika pada tahun 1970-an mengadopsi undang-undang
antidiskriminasi untuk melindungi hak homoseksalitas. Beberapa undang-undang
melarang untuk melakukan diskriminasi terhadap homoseksual dalam pekerjaan,
perumahan, dan lainnya. Perdebatan mengenai bermoral atau tidaknya
homoseksualitas terjadi pada tahun 1980-an di kalangan umat Kristen. Kristen
fundamentalis menunjukkan sikap lebih tidak toleran dibandingkan Kristen
liberal. Seiring dengan ketakutan terhadap AIDS di tahun 1980-an, banyak
penganut fundamentalis sepakat bahwa penyakit tersebut adalah akibat kutukan
Tuhan terhadap homoseksualitas.
C. Identifikasi
terhadap Homoseksual oleh Masyarakat
Seorang
homoseksual dikenali atau kelihatan homoseksual karena didefinisikan oleh orang
lain bahwa ia memiliki kecenderungan seksual terhadap sesama jenisnya. Terlepas
dari bukti-bukti keberadaannya, homoseksualitas dikenali dari interpretasi
tehadap perilaku seseorang. Pengenalan ini adalah proses yang merupakan ulasan
terhadap interaksi sebelumnya dengan seseorang. Di sini interaksi yang telah
terjadi di interpretasi lagi untuk melihat bukti-bukti adanya homoseksualitas.
Dalam proses ini dicari petunjuk tentang perilaku yang dapat membuktikan adanya
homoseksualitas. Bukti-bukti dapat bersifat tidak langsung, misalnya rumor,
informasi umum tentang perilaku seseorang, asosiasi atau kecenderungan seksual,
atau pengalaman bersama walaupun belum diverifikasi kebenarannya. Observasi
langsung terhadap perilaku yang diketahui oleh semua orang juga menjadi bukti-bukti
homoseksualitas. Misalnya, penampilan dan sikap yang seperti perempuan
(feminism) pada lelaki, atau penampilan dan sikap maskulin pada perempuan.
Tetapi
sebenarnya sebagian besar homoseksual tidak bisa dibedakan secara fisik dari
heteroseksual. Mereka dikenali seksualnya karena mereka menerapkan peran
homoseksual. Dalam studinya Jay dan Young menemukan bahwa hanya 6% lesbian
yang merasa bahwa lesbian lain dapat mengenalinya, sedangkan 68% merasa tidak
dapat mengenali, dan 27% tidak yakin (Jay dan Young, 1979, p.188). Jadi sulit
untuk menggeneralisasi peran seksual karena akan banyak ditemukan pengecualian.
D. Penyebaran
dan bentuk-bentuk homoseksualitas
Jumlah
homoseksualitas tergantung pada seberapa luas definisi homoseksualitas itu dan
pada cara kita menghitung orang yang sesuai dengan definisi itu.perkiraan
terhadap jumlah homoseksual beragam karena dua alasan tersebut.
1) Penyebaran
Homoseksual
Perkiraan kapan penyebaran dan peningkatan atau
pengurangan homoseksual sulit dilakukan karena terbatasnya data. Alasan
utamanya adalah karena banyaknya jenis homoseksualitas dengan komitmen yang
berbeda terhadap homoseksualitas.disamping itu perkiraannya akan menjadi
beragam tergantung siapa yang termasuk sebagai homoseksual. Jika semua orang
yang pernah melakukan kontak seksual sesama jenis termasuk ke dalam pengertian
homoseksual, maka jumlahnya akan banyak. Sebaliknya, jika yang dianggap sebagai
homoseksual adalah orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai homoseksual,
maka jumlahnya mungkin akan menjadi lebih sedikit itu karena banyak orang
dengan orientasi homoseksual yang kuat tidak menyatakan dirinya secara terbuka
sebagai homoseksual.
Perkiraan terhadap homoseksualitas di beberapa
masyarakat bahkan lebih sulit dilakukan, sehingga para peneliti lebih banyak
menebak. Whitam dan Mathy (1985) mengatakan bahwa homoseksualitas terdapat di
dalam semua kebudayaan dan di semua peristiwa bersejarah dalam jumlah yang
relative kecil (4-5 persen dari populasi laki-laki). Hal ini sangat berlawanan
dari perkiraan lain yang mengklaim bahwa hampir menjadi hal yang umum tentang
keterlibatan ke dalam homoseksualitas (Hert, 1981). Ada perbedaan subtansial
antara satu budaya dan budaya lainnya.
2) Bentuk-bentuk
Homoseksual
Para homoseksual cenderung mempunyai pasangan tidak
tetap dalam hubungan seksual dan hubungan yang terjadi itu bersifat impersonal.
Hubungan yang permanen jarang terjadi di antara homoseks. Pemuasan hubungan
seksual di antara mereka lebih bersifat sementara dan tidak tetap. Karena sifat
hubungan yang sementara itu, banyak remaja laki-laki yang sebenarnya bukan
homoseksual bersedia melakukan hubungan seks dengan para homoseks untuk
mendapatkan imbalan uang (Reiss, 1961). Hubungan seksual sementara ini juga
dapat dilakukan dengan para pelacur homoseks yang biasanya dilakukan oleh
homoseks yang tua dan kurang menarik secara fisik. Pelacuran homoseksual dewasa
ini adalah salah satu bagian dari kehidupan homoseksual. Para pelacur homoseks
ini belajar peran perilakunya, misalnya gaya
E.
Penggolongan Homoseksual
Homoseksual
dapat digolongkan ke dalam tiga katagori, yakni:
1. Golongan
yang secara aktif mencari mitra kencan di tempat-tempat tertentu, seperti
misalnya, bar-bar homoseksual;
2. Golongan
pasif, artinya yang menunggu;
3. Golongan
situasional yang mungkin bersikap pasif atau melakukan tindakan-tindakan
tertentu.
F. Undang-undang
yang mengatur mengenai homoseksual
Sebenarnya
perundang-undangan yang berlaku di Amerika Serikat tidak secara langsung
mengatur masalah-masalah homoseksual. Tujuan utama perundang-undangan tersebut
pada dasarnya adalah:
1) Melindungi
manusia terhadap agresivitas seksual
2) Melindungi
anak-anak atau orang di bawah umur terhadap eksploitasi seksual;
3) Melindungi
warga masyarakat terhadap ekspos seksual yang mempunyai pengaruh negative
(yakni tampak).
Di
Indonesia belum ada perundang-undangan yang secara khusus mengatur
masalah-masalah homoseksual. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada Pasal
292 yang secara eksplisit mengatur soal sikap tindak homoseksual, yang
dikaitkan dengan usia di bawah umur. Isi pasal itu adalah sebagai berikut.
“Orang
dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun”.
Pasal
itu menjadi bagian bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Dalam hal ini,
tidak ditentukan apakah perbuatan itu dilakukan oleh pria atau wanita sehingga
dapat disimpulkan berlaku bagi kaum homoseksual maupun lesbian. Dari pasal itu
juga dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dilarang adalah “perbuatan cabul”
dengan orang yang belum dewasa yang sama jenis kelaminnya. Artinya, perbuatan
yang dilarang yang dikaitkan dengan belum dewasanya (calon) korban.
Apabila
perundang-undangan yang ada, baik di Amerika Serikat, maupun contoh yang
disebutkan di Indonesia, ditasirkan secara sosiologis, sebenarnya
perundang-undangan tersebut merupakan suatu bentuk konkret tabu terhadap
sikap-tindak homoseksual sebagaimana ditetapkan oleh adat istiadat, agama, dan
seterusnya. Dalam hal ini hukum tidak secara tegas melarang homoseksualitas,
misalnya, dalam hal perananya, kecuali apabila ada perbuatan-perbuatan yang
dianggap melanggar kesusilaan.
Penjelasan
secara sosiologis mengenai homoseksualitas bertitiktolak pada asumsi bahwa
tidak ada pembawaan lain pada dorongan seksual, selain kebutuhan untuk
menyalurkan ketegangan. Oleh karena itu, baik tujuan maupun objek dorongan
seksual diarahkan oleh factor sosial. Artinya, arah penyaluran ketegangan
dipelajari dari pengalaman-pengalaman sosial. Dengan demikian, tidak ada pola
seksual alamiah, karena yang ada adalah pola pemuasanya yang dipelajari dari
adat istiadat lingkungan sosial. Lingkungan sosial akan menunjang atau mungkin
menghalangi sikap-tindak dorongan-dorongan seksual tertentu.
Seseorang
menjadi homoseksual karena pengaruh orang-orang sekitarnya. Sikap-tindaknya
yang kemudian menjadi pola seksualnya dianggap sebagai sesuatu yang dominan
sehingga menentukan segi-segi kehidupan lainnya.
G. Pandangan
Sosiologi mengenai homoseksual
Pandangan-pandangan
sosiologis menyatakan, sebagaimana disinggung di muka, bahwa homoseksualitas
merupakan suatu peranan. Oleh karena itu, walaupun derajat keterkaitannya pada
aspek seksual berbeda-beda, homoseksualitas sebagai peranan mengakibatkan
terjadinya proses penanaman tertentu terhadap gejala tersebut (naming process).
Proses penemaan tidak hanya terjadi pada homoseksualitas, tetapi juga terhadap
gejala-gejala lainnya, yang oleh masyarakat di anggap suatu penyimpangan
(walaupun tidak selalu ditolak secara mutlak). Proses penamaan itu sebenarnya
merupakan suatu sarana pengendalian sosial, karena:
1) Memberikan
patokan mengenai sikap-tindak yang diperbolehkan dan yang dilarang.
2) Membatasi
sikap-tindak menyimpang pada kelompok-kelompok tertentu.
Oleh
karena itu, pembenaran yang biasanya diberikan oleh kalangan homoseksual adalah
mereka tidak dapat kembali pada pola kehidupan yang dianggap normal oleh
masyarakat.
Atas
dasar pandangan sosiologis tersebut, maka untuk mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya homoseksualitas dan prosesnya diperlukan suatu uraian
mengenai kebudayaan khususnya. Hal ini disebabkan karena titik tolak pandangan
sosiologis adalah homoseksualitas merupakan suatu peranan. Mengenai
homoseksualitas dan lesbianisme, secara sosiologis agak sulit untuk mengungkapkan
sebab-sebabnya secara pasti karena walaupun secara sosiologis ada dugaan kuat
bahwa hal itu disebabkan oleh lingkungan sosial tertentu, lingkungan sosial
tersebut juga banyak aspeknya.
Hal-hal
yang dijelaskan senantiasa ada dalam setiap masyarakat sehingga penyimpangan
memang merupakan suatu gejala yang selalu timbul dalam masyarakat. Masalahnya
adalah sampai sejauh mana masyarakat dapat memberikan toleransi terhadap
penyimpangan-penyimpangan tersebut. Lagi pula, tolak ukur toleransi itupun
tidak statis, tetapi sebnntiasa bergerak. Misalnya, dahulu di Amerika Serikat
homoseksualitas, maupun lesbianism di muka umum sama sekali tidak dapat
diterima. Oleh karena itu, mereka melakukan kegiatan-kegiatannya secara
sembunyi-sembunyi untuk menghindarkan diri dari kritik-kritik yang pedas. Salah
satu akibatnya adalah, dewasa ini mereka menjadi agresif karena mereka
beranggapan bahwa penyaluran dorongan-dorongan seksual dan tingkah lakunya
merupakan salah satu hak asasi manusia. Dengan timbulnya gejala itu, masyarakat
secara luas secara perlahan lebih bersikap lunak terhadap mereka, serta mana
yang diperbolehkan dan yang dilarang.
Hal
tersebut diatas berlaku bagi kebudayaan khusus homoseksualitas. Kebudayaan
khusus itu mencakup kelompok tertentu yang mendukungnya, yang merupakan suatu
in-group, yang melakukan kegiatan-kegiatan sejenis. Mereka mengembangkan
nilai-nilai dan kaidah-kaidah khusus yang berlaku bagi mereka. Mereka tidak
menutup diri terhadap kegiatan-kegiatan sosial di luar kelompok itu, tetapi
membatasi diri mereka pada keterlibatan aktivitas yang mendukung nilai-nilai
dan kaidah-kaidah homoseksualitas. Para homoseksual menganggap menurut aturan
yang dianut kalangan heteroseksual. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa tidak
semua tipe kalangan homoseksual merupakan pendudkung kebudayaan khusus
homoseksual.
Tipe
kalangan homoseksual tersebut diantaranya:
1) Klik-klik
yang terdiri dari para homoseksual yang mempunyai istri wanita, atau yang
mempunyai istri sesame homoseksual;
2) Kelompok-kelompok
besar yang tidak begitu ketat strukturnya yang mencakup kelompok-kelompok kecil
yang tersebar;
3) Homoseksual
yang mengadakan pertemuan-pertemuan secara incidental.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa secara sosiologis, lingkungan sosial memberikan
bentuk pada sikap-tindak homoseksual. Apabila hipotesis menyatakan bahwa setiap
manusia mempunyai naluri sebagai homoseksual, lingkunganlah yang memungkinkan
berkembangnya naluri itu, atau mematikannya. Bagi kalangan homoseksual, hal ini
antara lain, berarti perubahan peranan yang disandangnya. Namun, perubahan
peranan itu terutama disebabkan karena kebutuhan penyaluran kebutuhan seksual.
Penjelasan
mengenai homoseksualitas diatas memang tidak didukung oleh data empiris yang
berasal dari Indonesia. Memang di Indonesia belum pernah diadakan penelitian
mengenai masalah itu secara luas, kecuali mungkin dalam bentuk karya ilmiah di
perguruan tinggi.
Di
atas telah dijelaskan beberapa faktor yang memberikan situasi yang membuka
peluang terjadinya homoseksualitas. Hal ini dilihat dari sudut pandangan proses
interaksi yang dilakukan dalam rekuensi yang relati tinggi.
Dorongan
yang kuat untuk menyimpang, antara lain dalam bentuk homoseksualitas merupakan
reaksi negative terhadap kedudukan dan peranan yang diberikan oleh lingkungan
sosial kepada seseorang. Hal ini disebabkan, karena adanya keyakinan bahwa
moralitas tidak memberikan kesempatan kepada pribadi untuk
membentukkepribadiannya sendiri atau setidak-tidaknya ikut berperan membentuk
kepribadian itu. Kadang-kadang hal itu disebabkan oleh ketegangan-ketegangan
yang timbul sebagai akibat pertentangan antara pelbagai kelas sosial dalam
masyarakat yang terbentuk dalam proses pelapisan sosial. Di Negara-negara Barat
tertentu, homoseksualitas timbul karena dorongan yang kuat yang kadang-kadang manjadi
eksis untuk mengadakan persamaan kedudukan dan peranan antara wanita dan pria.
Kegiatan-kegiatan ini kadang-kadang menghasilkan situasi yang disproporsional
bagi kaum pria.
H. Sosialisasi
peran seksual dan proses menjadi homoseksual.
Dalam
membicarakan hal ini, perlu adanya pemahaman secara utuh mengenai makna gender
dan proses individu mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu gender.
Pemahaman terhadap homoseksualitas secara menyeluruh akan meliatkan perasaan
kecenderungan dan identitas seksual yang dianut.
a) Perkembangan
seksual
Seksualitas tidak
semata-mata merupakan body chemistry, tetapi lebih lebih menunjuk pada situasi
sosial dan pengharapan. Laki-laki dan perempuan secara sosial dikontruksikan
berbeda, begitupula prilaku yang dihasilkan dari peran-peran tersebut. Sehingga
dapat dikatakan bahwa seksualitas adalah sesutau yang dipelajari dan merupakan
kontruksi sosial. Seksualitas adalah hasil belajar dalam interaksi dengan orang
lain (Plummer, 1975 30). Misalnya laki-laki maka akan dikontruksikan lebih
agresif, macho, pemberani, kuat, tegas, dan lain sebagainya. Sedangakan
perempuan lebih ke kelembutan, feminism, pesolek, rapi, dan lain sebagainya.
Hal inilah yang kemudian menjadi identitas agi keduanya agar memiliki
perbedaan.
Kontruksi yang telah dibuat tadi akan menumbuhkan apa yang
dinamakan dengan peran gender atau yang disebut juga sebagai seks role. Peran gender adalah
seperangkat norma yang mendefinisikan perilaku untuk laki-laki dan perempuan.
Ketika menginjak masa kanak-kanak, permainan mereka pun dibedakan. Boneka yang
berbentuk perempuan tidak akan diberikan kepada anak laki-laki. Begitu pula
sebaliknya, boneka robot tidak akan diberikan kepada anak perempuan. Anak
laki-laki tidak diberi mainan boneka tetapi mobil-mobilan. Sebaliknya, anak
perempuan tidak diberi mainan mobil-mobilan. Hal ini memperlihatkan bahwa peran
gender telah dikonstruksikan ketika seseorang baru lahir sekalipun.
Cara belajar berperilaku seksual juga dibedakan sedemikian rupa
hingga dewasa. Seseorang dapat belajar dengan membayangkan objek atau orang
yang dapat memberikan kepuasan seksual. Akan tetapi untuk berperilaku, orang
selalu ditanamkan jaringan norma paksaan yang mendefinisikan objek atau orang
tertentu yang diperbolehkan. Penghargaan, pujian, hadiah, atau hukuman pada
masa kanak-kanak membantu seseorang untuk mendefinisikan seksualitas yang dapat
diterima.
Namun jika pada akhirnya proses sosialisasi seksual tersebut
tidak berjalan dengan begitu sempurna dan menghasilkan penyimpangan dalam
mendapatkan kepuasan seksual diasumsikan paling tidak ada dua alasan
penjelasannya, yaitu, pertama, erotisme merupakan wilayah pembicaraan yang tabu
dalam praktik sosialisasi. Banyak orang tua dan agen sosialisasi (orang tua,
guru, dan lain-lain) merasa tidak nyaman dalam menjelaskan pendidikan seks yang
tepat. Bagi banyak agen sosialisasi, pembicaraan dengan topic tentang seks
membuat mereka malu. Kedua, wilayah pembicaraan seksualitas tertutup karena
berbagai alasan. Misalnya, harus dengan partner yang tepat, penempatan objek
dan usia. Faktanya, norma seksual adalah sesuatu yang rumit, karena adanya
perbedaan kombinasi kemungkinan yang harus dipelajari. Dengan demikian tidak
mengherankan bahwa ada kemungkinan proses sosialisasi tersebut gagal
mempersiapkan pertumbuhan dan pendewasaan seksual seseorang.
b. Menjadi Seorang
Homoseks
Pada tahap kehidupan
ini, sebagian besar orang telah mengembangkan identitas seksualnya. Identitas
ini terpendam dan dicerminkan dalam kecenderungan dan orientasi perasaan
seksual, tanpa memandang perilaku individu (Harry, 1984). Dalam kaitan ini,
homoseksualitas dewasa adalah ”sekedar
kelanjutan perasaan perilaku homoseks yang telah dapat deprediksikan secara
tepat” (Bell et all., 1981, p.186). Hal ini sama dengan perkembangan peran
dan perilaku seksual yang normal. Perkembangan prosesnya sama, tetapi isi dan
apa yang dipelajari berbeda.
Goffman membatasi istilah homoseksual pada (Goffman 1963,
p.143-144): “individuals who participate
in a special community of understanding where in members of one’s own seks
energetically organized around the persuit and entertainment of these
object’s”.
(terjemahan bebas: “orang-orang yang berpartisipasi ke dalam
komunitas pemahaman khusus di komunitas itu para anggota berjenis kelamin sama
diorganisir dengan penuh gairah untuk tujuan pengisian waktu hilang dan
hiburan”).
Perkembangan konsep diri homoseksual hamper tak terelakkan
setelah berhubungan dengan homoseksual lain, dalam konteks seksual dan
nonseksual selama periode tertentu. Beberapa faktor menjadi penentu
perkembangan identitas homoseksual ini. Faktor ini meliputi pengharapan
terhadap orang lain, adanya identitas dengan model-model peran, dan reaksi
terhadap orang lain yaitu atribut atau sangkaan homoseksual terhadapnya. Secara
umum, identitas homoseks yang kemudian dilanjutkan dengan keterlibatan ke dalam
aktivitas dan lingkungan seks sejenis, dapat dikatakan membuat seseorang
menjadi homoseksual.
c. Proses Pengakuan
Pengakuan berarti
penerimaan akan identitas sebagai penyimpang (Dank, 1971) yang dapat
membedakannya dengan identitas sebagai nonhomoseks. Terjadinya orientasi
seksual dapat berlangsung setiap waktu, tetapi umumnya adalah pada masa
kanak-kanak. Kondisi yang mendorongnya juga sangat beragam. Pengakuan dalam hal
ini juga adalah sebuah proses. Di dalamnya ada proses mengenali kecenderungan
terhadap orang lain dalam sosialisasi peran seks.
Troiden (1979) menggambarkan proses ini ke dalam tiga tahap,
yaitu:
·
Sensitization. Pada tahap ini seseorang
menyadari bahwa dia berbeda dengan laki-laki lain.
·
Dissociation dan signification. Tahap
ini menggambarkan terpisahnya perasaan seksual seseorang dan menyadari
orientasi perasaan seksualnya. Di sinilah seseorang mendapat pengalaman hiburan
seksualnya dari laki-laki lain, tetapi mungkin gagal menunjukan perasaannya
atau mencoba untuk mengingkarinya
·
Coming out (pengakuan). Tahap ini
merupakan tahap dimana homoseksualitas diambil sebagai jalan hidup. Tahap ini
mungkin dapat diartikan bahwa telah terjadi kombinasi antara seksualitas dan
emosi, dan mempunyai hubungan dengan pasangan tetap.
Ini semua adalah proses terwujudnya
identitas seksual dan komitmen perilaku yang membentuk gaya hidup homoseksual
(lihat Coleman, 1981-82; dan Dank, 1971). Proses pengakuan ini berlangsung lama
dan prosesnya tidak pasti, sebab tidak ada tahap selanjutnya. Penjelasan atas
proses pengakuan ini menunjukan pentingnya sosialisasi peran seks dan
harapan-harapan orang lain dalam pembentukan gaya hidup homoseksual.
I. Lesbianisme
(Homoseksual Perempuan)
Istilah lesbianisme berasal dari nama
Lesbos (pulau tempat pembuangan napi perempuan di Yunani). Sappho (600 SM),
penyair besar Yunani, menjadikan dirinya sebagai pemimpin sekelompok napi yang
mempunyai keterkaitan ciri perasaan dan perilaku homoseks. Relative kecil yang
berhasil dilakukan pada homoseksualitas perempuan atau lesbianisme, jika
dibandingkan dengan homoseksualitas laki-laki. Hal ini mungkin karena
lesbianisme lebih sulit dipelajari. Dalam banyak hal aktivitas homoseksual
perempuan mirip dengan homoseksual laki-laki, tetapi ada bebraa bagian yang
berbeda.
Lesbian tidak banyak terlibat dalam
subkebudayaan tersendiri seperti halnya para homoseks. Subkebudayaan
homoseksual adalah entitas fungsional yang diorganisasikan untuk memberikan
dukungan dan menyediakan sarana hubungan sosial bagi anggotanya. Para lesbian
lebi terasing dibandingkan dengan para homoseks. Lesbian dapat menyembunyikan
penyimpangan seksualnya dibalik asumsi seksual terhadap perempuan, dibandingkan
dengan laki-laki yang diasumsikan secara seksual lebih aktif dan agresif.
Lesbian lebih bersifat pribadi dibandingkan para homoseksual. Subkebudayaan
seksual lebih sedikit berkembang dibandingkan dengan subkebudayaan homoseksual,
yang di beberapa tempat dapat ditemui di bar-bar atau tempat pertemuan para
homoseks lainnya. Hubungan jangka penjang yang dijalin antara para lesbian
mengindikasikan kecilnya kemungkinan untuk bergani pasangan dan sedikitnya
kebutuhan untuk membuat “setting dunia lesbian” untuk mencari pasangan.
Tetapi, hubungan dalam jangka panjang ini
juga mempunyai banyak masalah (Blumstein dan Schwartz, 1983). Misalnya, para
lesbian harus berhadapan dengan isu-isu homophobis dan heteroseksisme serta
seksisme lainnya dalam masyarakat karena mereka adalah perempuan (Dooley,
1986). Stigma dan diskriminasi yang harus mereka hadapi misalnya pada bidang
pekerjaan, layanan sosial, dan penolakan sosila lainnya akan lebih besar
dibandingkan para homoseks. Subkebudayaan homoseksual muncul untuk memenuhi
kebutuhan pribadi dan sosial para homoseksual. Karena lesbian lebih sedikit
mendapat stigma dan lebih sedikit membutuhkan subkebudayaan sendiri,
subkebudayaan lesbian yang ada lebih sedikit dalam jumlah dibandingkan dengan
subkebudayaan homoseks.
a) Fenomena
Lesbianisme
Cara
pengenalan terhadap lesbianisme adalah berbeda. Lesbian tidak mudah
diidentifikasi. Di samping itu opini terhadap lesbian hanya akan menjadi
kenyataan jika lesbian menunjukkan gaya yang unik dalam berpakaian dan
berhubungan. Hubungan dekat dan beberapa jenis sentuhan fisik yang
diperlihatkan adalah sama seperti halnya hubungan antara perempuan. Sulit untuk
membedakan perilaku yang demonstrative dengan perilaku lesbian yang menyimpang.
Lesbian lebih cenderung biseksual dan tidak konsisten dalam perilaku seksualnya
disbanding para homoseks (Blumstein dan Schwartz, 1974). Akan tetapi, lesbian
menunjukan kesamaan pilihan terhadap perilaku dan identitas yang sama dengan
homoseks. Sebagian lesbian menikah tetapi orientasi seks utamanya pada
perempuan lain, lainnya menikah tapi biseks, sedangkan sisanya tidak menikah
dan tetap lesbian.
b) Penyabaran
Lesbianisme
Memperkirakan angka
homoseks laki-laki masih sulit. Memperkirakan angka homoseks perempuan jauh
lebih sulit lagi. Kesulitan ini dikarenakan subkebudayaan lesbian cenderung
tertutup. Hal ini mungkin akan berubah karena pergerakan perempuan telah
menjadikannya sebagai sumber kekuatan bagi organisasi yang memusatkan perhatian
pada sejumlah kelompok lesbian. Dalam banyak hal lesbian lebih sering
menunjukan heteroseksualitas dengan jelas. Dengan demikian identifikasi
terhadap mereka sangat sulit.
Kebanyakan penelitian seksual tidak bermaksud
memperkirakan jumlah lesbian. Suatu hal yang disetujui para ahli dalam hal ini
adalah spekulasi bahwa lesbianisme telah meluas melebihi perkiraan sebelumnya,
bahkan mungkin lebih merata dibandingkan dengan homoseksualitas. Lesbianisme
adalah perilaku seksual yang jarang diteliti.
c) Menjadi
Lesbian
Penting untuk mengenali
nilai dan norma yang kondusif dalam pengalaman seks perempuan, meskipun hal ini
tidak selalu menjadi penyebab homoseksualitas perempuan. Di mana saja dalam
bebrapa tingkat, perempuan menilai dirinya sendiri mempunyai keinginan
heteroseks. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa mereka diekspos secara luas
dalam media masa dan juga berdasarkan anggapan yang dikembangkan tentang
pengharapan laki-laki. Secara
tradisional, perempuan telah diharapkan dan deperlakukan sebagai objek seks
bagi laki-laki dan kebiasaan ini mungkin juga digantikan oleh perempuan lain.
Faktor lainnya adalah seperangkat norma perempuan yang
berbeda dengan laki-laki. Wanita diijinkan untuk menyentuh sesamanya secara
fsiik dan menjalin hubungan yang emosional dengan sesame jenisnya. Dalam
beberapa keadaan, saling berdikusi tentang seks dan fantasi seksual mengarah ke
percobaan perilaku.
Perempuan lebih
sering hanyut dalam homoseksualitas dibanding laki-laki. Kontak fisik dengan
wanita biasanya terjadi sebelum usia 20 tahun dan kebanyakan terjadi sebelum
usia 15 tahun. Tidaka ada bukti-bukti yang mendukung bahwa wanita terbujuk ke
dalam lesbianisme. Sama halnya dengan laki-laki, orientasi seksual perempuan
terlebih dahulu muncul sebelum adanya hubungan fisik para lesbian dan
kebanyakan lesbian memiliki hubungan yang heteroseksual sebelum menjadi lesbian
(Bell. At. Al., 1981). Sebelum penelitian tentang sekelompok lesbian menunjukan
bahwa walaupun keadaan kontak seksual awalnya adalah berbeda-beda, namun
mayoritas hanya melibatkan rangsangan fisik. Hamper sepertiga jumlah perempuan
yang diteliti mengaku bahwa oral seks adalah bagian dari kontak seksual
pertama, namun tidak berkaitan dengan orgasme yang diperoleh saat itu (Hedlom.
1972. p. 56). Walaupun pada kenyataannya para lesbian ini menarik garis yang
tegas antara dunia lesbianisme dan heteroseksual, namun hampir dua pertiga dari
lesbian yang diteliti mempunyai hubungan seksual dengan leki-laki.
Proses perkembangan dan sosialisasi seksual yang terjadi
pada laki-laki juga berlaku terhadap perempuan. Di kebanyakan kebudayaan,
perempuan belajar peran seksual perempuan dan harapan terhadap peran seks
tersebut sejak dini (Reiss, 1986). Pola peran perilaku seks lesbian cenderung
mirip dengan pola peran perilaku seks perempuan yang heteroseksual. Belajar
seksual bagi homoseksual dan heteroseksual adalah sama karena harapan budaya
terhadap peran perempuan biasanya konsisten. Ini tidak berarti bahwa pengalaman
awal keduanya adalah sama. Saghir dan Robin (1973. p.192-194) menemukan dalam
jumlah yang signifikan bahwa perempuan homoseksual menunjukkan sikap tomboy
pada masa kanak-kanak dan perilaku seperti anak laki-laki. Pada kenyataannya,
perilaku seperti anak laki-laki pada anak-anak perempuan yang kemudian menjadi
lesbian adalah sama halnya dengan anak laki-laki yang berperilaku seperti
perempuan yang nantinya menjadi homoseksual.
Kebanyakan lesbian menemukan perasaan homoseksualnya pada
tahap akhir masa remajanya, bahkan sering pada awal masa dewasanya. Dan
perilaku homoseksualnya sering terbentuk pada tahap akhir proses hubungan
emosional yang intensif. Sama dengan homoseksual laki-laki lesbian terbentuk
sebagai hasil pengalaman hubungan seksual dengan lesbian. Dari hasil studi
ditemukan bahwa pembentukan itu terjadi sebagai hasil dari hubungan
heteroseksual yang melibatkan dua orang perempuan dan satu laki-laki. Dimana
laki-laki mendorong kedua perempuan tersebut untuk saling melakukan cumbuan
seksual. Namun, perempuan tidak menjadi lesbian karena terangsang pada
orientasi lesbian. Perkembangan orientasi lesbian atau pengalaman-pengalaman
lesbian sering mendahului terjadinya perilaku lesbian.
Perbedaan utama antara homoseks dan lesbian adalah lesbian
lebih cenderung memandang dirinya tidak promiscuous (berpasangan seks dengan
siapa saja) dibandingkan dengan para homoseks (Hedbloom, 1972, p.55). persepsi
diri ini ditujukan dalam perilaku para lesbian. Mereka tidak bergant-ganti
pasangan seks dan cenderung mempunyai pasangan tetap atau menikah dalam
pengertian homoseksual dan mempunyai hubungan emosional yang kuat dalam waktu
yang panjang.
Perbedaan
tersebut berakar pada peran perempuan dimana kepuasan seksual ditempatkan ke
dalam konteks keterlibatan emosi atau romansa. Rata-rata homoseks cenderung tidak stabil hubungannya, dilain
pihak lesbian cenderung lebih selektif dan menjaga keterlibatannya dalam arti
dia tidak tertarik pada variasi pasangan dan praktik seksual. Baik lesbian
maupun homoseks membangun hubungan dengan homoseks atau lesbian lainnya dalam
jangka panjang. Tetapi, frekuensi hubungan seperti itu lebih besar terjadi di
kalangan lesbian. Keadaan dan frekuensi masalah hubungan diantara para lesbian
ini mirio dengan passangan tang yang heteroseksual yang menikah. Pihak-pihak
yang terlibat dalam hubungan tersebut membutuhkan konsultasi atas masalah yang
sama, termasuk perbedaan kekuasaan, kewajiban atau keluhan-keluhan lain dalam
suatu hubungan (Boston Lesbian Psycologies Collective, 1937).
Hanya sedikit studi tentang peran
okupasi atau pekerjaan berkaitan dengan perkembangan lesbianisme, walaupun
beberapa pekerjaan dicurigai penuh dengan aktivitas lesbian. Sebuah studi
terhadap para penari telanjang menunjukkan bahwa seperempat dari mereka
terlibat hubungan lesbianisme. Studi ini juga memperkirakan bahwa 50-75%
kelompok ini adalah biseksual. Beberapa faktor yang mempengaruhinya adalah
terbatasnya kesempatn untuk menjalin hubungan yang stabil dan pandangan
negative yang berkemnagn tehadap para penari dari laki-laki yang terlibat
kedalam pertunjukkan itu. Kedua hal
tersebut menyebabkan penari lebih banyak berhubungan dengan perempuan.
d) Konsep
Diri Lesbian
Ketertarikan pertama seorang perempuan
kepada yangt lain bukanlah secara seksual, melainkan ketertarikan emosional
atau kedekatan berdasarkan kepentingan yang sama. Seorang perempuan yang
menyadari ketertarikannya pada perempuan lain akan mencoba “menggunakan label
lesbian” untuk melihat kecocokannya (Browning, 1987). Perempuan cenderung
memberikan warna, emosi ke aspek-aspek fisik dalam ketertarikannya dengan
perempuan lain. Proses melabelkan diri ini terjadi dalam konteks pertemanan
dengan perempuan lain. Kedekatan hubungan personal yang mendasari pertemuan
dengan seorang lesbian berkembang sebelum atau selama kontak genital dan
merupakan tahap akhir dalam hubungan afektif yang erat.
Seorang lesbian dianggap maskulin dalam
hal agresivitas, cara berpakaian dan perilakunya. Dalam dunia lesbian ini
disebut dengan butch role. Namun, hanya sedikit lesbian yang mengikuti pola
itu, walaupun beberapa diantaranya pernah mengalami, terutama saat terjadi
krisis identitas ketika mereka baru masuk ke dalam subkebudayaan lesbian.
Kebanyakan lesbian menginginkan dianggap sebagai perempuan oleh perempuan lain
baik secara emosi maupun secara seksual. Ketika meninggalkan dunia laki-laki
dalam kehidupan heteroseksual, lesbian harus menghadapi banyak tanggung jawab sosial
secara tradisional dikuasai oleh laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar